Pengertian Hate Speech
Hate speech adalah semua komunikasi yang
meremehkan seseorang atau kelompok berdasarkan beberapa karakteristik,
seperti ras atau orientasi seksual. Dalam hukum, hate speech adalah
setiap pidato, sikap, perilaku, tulisan, atau tampilan yang dilarang
karena dapat mendorong kekerasan atau tindakan merugikan terhadap/oleh
seorang individu/kelompok yang dilindungi. Jelasnya, hate speech itu semacam provokasi, dan bersifat menyerang kelompok/individu yang dianggap sebagai lawan.
Hate Speech dan Penanganannya oleh POLRI
Selain
perbaikan sistem politik yang lebih demokratis, hasil utama agenda
reformasi Indonesia adalah meningkatnya perhatian negara terhadap
perlindungan HAM warganya baik pada aras konstitusional (missal, UU HAM
No 39 Thn 1999) maupun pada level praktis, seperti kebebasan pers dan
kebebasan berpendapat serta unjuk rasa yang dinikmati masyarakat. Namun
demikian, selama era reformasi ini berbagai pelanggaran HAM terkait
dengan kebebasan beragama justru marak terjadi. Dua kasus yang menyedot
perhatian nasional dan internasional adalah peristiwa penyerangan Jemaat
Ahmadiyah Cikeusik (2011) dan penyerangan jamaah Syiah di Sampang
(2012). Peristiwa Cikeusik pada 6 Februari 2011 berakibat tiga nyawa
melayang dan belasan luka-luka. Dalam tragedi Sampang 27 Agustus 2012
puluhan warga Syiah dipaksa meninggalkan kampung halamannya dan tinggal
di tempat pengungsian.
Dalam
kedua kasus itu dan banyak kasus serupa lainnya, korban yang seharusnya
dilindungi hak-hak dasarnya acap malah menjadi kambing hitam konflik
yang terjadi lantaran dituduh menjadi penyebab kemarahan kelompok
intoleran. Padahal, dan ini yang kurang diperhatikan, kekerasan massa
itu tidak meledak dengan sendirinya, tapi karena tersulut oleh
pernyataan atau ucapan tokoh agama yang menyebar kebencian terhadap
kelompok lain karena perbedaan keyakinan. Dengan kata lain, kekerasan
atas nama agama dimungkinkan terjadi karena maraknya aksi Hate Speech,
yakni ucapan dan atau tulisan yang dibuat seseorang di muka umum untuk
tujuan menyebar dan menyulut kebencian sebuah kelompok terhadap kelompok
lain yang berbeda baik karena ras, agama, keyakinan, gender, etnisitas,
kecacatan, dan orientasi seksual (Greenawalt, 1996).
Harus
diakui bahwa sebagai aparat keamanan POLRI telah berusaha menangani
kasus-kasus kejahatan yang disebabkan oleh kebencian (Hate Crime)
sebagaimana dicontohkan diatas. Namun, ada anggapan bahwa POLRI
melakukan pembiaran terhadap berbagai aksi Ujar Kebencian (Hate Speech)
yang acap terjadi dan yang sesungguhnya menjadi penyulut kejahatan (Hate
Crime) dimaksud. Minimnya pemahaman mengenai konsepsi Hate Speech dan
hubungannya dengan Hate Crime diakui sebagai faktor yang berkontribusi
terhadap adanya kesan pembiaran tersebut. Selain itu, ketidakjelasan
payung hukum yang mengatur Hate Speech (UU, PERKAP, SOP) menyebabkan
fungsi-fungsi yang ada di POLRI tidak bisa lugas bekerja mengatasi
masalah ini. Atas dasar itu, guna memaksimalkan peran POLRI dalam
penanganan Hate Speech perlu diambil kebijakan di bidang pendidikan dan
pelatihan serta bidang hukum dan perundang-undangan sehingga aparat
POLRI dapat memiliki pemahaman dan kesadaran yang lebih baik akan bahaya
Hate Speech bagi toleransi beragama dan integrasi sosial serta memiliki
kepastian hukum dalam upaya penanganannya.
Meskipun
disadari bahwa Hate Speech bisa mendorong kepada Hate Crime, apa
sebenarnya yang dimaksud dengan Hate Speech dan bagaimana batasannya
masih belum terlalu jelas bagi aparat POLRI dan juga bagi masyarakat
pada umumnya. Aparat POLRI masih mengganggap Ujar Kebencian (Hate
Speech) sebagai bagian dari Kebebasan Berbicara (Free Speech) yang
dijamin oleh konstitusi. Pandangan seperti ini terkuat dalam Workshop
tentang Hate Speech dan Penanganannya oleh Polisi yang diadakan oleh
Kompolnas tanggal 4-5 Maret 2014 di tiga kota: Bandung, Surabaya, dan
Makassar. Kerancuan pemahaman ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi
juga di banyak negara sehingga mendorong beberapa kalangan
mengadvokasikan Hate Speech is not Free Speech. Di samping itu, muncul
anggapan yang menyamakan Hate Speech dengan ucapan yang bersifat
menghasut dan menghujjat pada umumnya, baik karena motif persaingan
politik, persaingan bisnis atau semata-mata ekspresi kritis. Padahal,
Hate Speech yang dimaksud di sini cakupannya terbatas pada ujar
kebencian dan penghinaan yang didorong oleh motif bias, yakni karena
benci terhadap orang yang berbeda ras, warna kulit, agama, suku, orang
cacat, dan orang yang memiliki orientasi seksual yang berbeda. Sasaran
Hate Speech dan Hate Crime adalah mereka yang termasuk dalam kelompok
lemah yang tidak bisa melakukan perlawanan (Siegel, 2009:359).
Pengaturan
hukum mengenai Hate Speech di Indonesia memang belum jelas dan tegas
sebagaimana di negara lain seperti Australia, Kanada dan Selandia Baru.
Namun beberapa instrumen HAM dan UU yang tersedia telah memberikan
payung hukum terhadap masalah ini, meskipun belum komprehensif dan
kurang mendapat perhatian luas. Pasal 20 ICCPR yang telah diratifikasi
dalam UU No 12 2005 menegaskan bahwa segala tindakan yang menganjurkan
kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan
utuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang
oleh hukum. UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan
Etnis pasal 4 huruf b melarang orang menunjukkan kebencian atau rasa
benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis baik dalam bentuk
tulisan atau gambar, pidato atau penggunaan simbol-simbol yang dilakukan
di depan umum. Sementara di kedua instrumen hukum di atas cukup jelas,
KHUP tidak memberikan kejelasan. Pasal 156, 156a dan 157 KUHP dinilai
masih terlalu lentur, cenderung bersifat karet, dan karenanya tidak
menimbulkan kepastian hukum dan dalam praktiknya malahan rentan
disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi.
Mengacu
kepada analisis persoalan di atas, harapan banyak disandarkan kepada
kinerja POLRI untuk memberikan perhatian yang lebih serius lagi kepada
masalah Hate Speech yang kerap terjadi di tengah masyarakat. Langkah
yang paling mungkin dilakukan pertama kali adalah sosialisasi tentang
konsep Hate Speech di kalangan pimpinan POLRI baik di level POLDA maupun
POLRES. Hal ini bertujuan untuk membangun kesadaran dan meningkatkan
komitmen serta kemampuan mereka untuk mencegah terjadinya diskriminasi
dan penyerangan terhadap kelompok minoritas. Untuk jangka panjang POLRI
perlu mengambil langkah kebijakan baik dalam bentuk perubahan UU
kepolisian No 2 Tahun 2002, maupun dalam bentuk aturan-aturan internal
POLRI yang dapat meningkatkan kepastian hukum aparat dalam menjalankan
tugasnya. Disadari, perlindungan dan penegakkan HAM serta penciptaan
harmoni sosial bukanlah tanggungjawab POLRI semata, tapi melibatkan
dukungan yang luas dari segenap stakeholder baik di pemerintahan dan
masyarakat. Namun, dengan semangat pemolisian yang demokratis yang
menjadi semangat dewasa ini, POLRI dapat mengambil langkah inisiatif
untuk membangun sinergi dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait.
http://icrp-online.org/2015/05/08/hate-speech-hancurkan-kebhinekaan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar